Rangkuman tentang Jurnal Pengujian Validitas Konstruk Kriteria Kecanduan Internet

Pengujian Validitas Konstruk Kriteria
Kecanduan Internet
Helly P. Soetjipto
Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


Rangkuman
Keragaman dan kemudahan yang ditawarkan internet menjadikan curahan waktu untuk menggunakannya menjadi semakin meningkat. Peningkatan curahan waktu dan penggunaan internet yang sangat intensif ini menimbulkan berbagai permasalahan yang di kalangan para ahli psikologi dikenal antara lain sebagai kecanduan internet (internet addiction). Sebagai sebuah topik kajian yang relatif baru, istilah kecanduan internet atau internet addiction memperoleh tanggapan yang serius dari kalangan akademik setelah istilah tersebut dimunculkan oleh Kimberly Young pada tahun 1996 (Young, 1999). Meskipun pada periode sebelumnya telah banyak perhatian para ahli psikologi untuk mengkaji masalah interaksi antara komputer dengan manusia (humancomputer interaction), namun kontroversi timbul justru karena digunakannya istilah addiction (kecanduan) oleh Young. Pada saat dimunculkan itu, kata itu cenderung diartikan sebagaimana Chaplin (1975) dua dekade sebelumnya mendifinisikan addiction di dalam Dictionary of Psychology sebagai the state of being physically dependent upon drug Dengan demikian kata addiction lebih sesuai untuk diterjemahkan sebagai kecanduan.
Kecanduan sebagai kata bentukan di dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang mengalami ketergantungan kepada candu (opium). Penggunaan istilah kecanduan di dalam bahasa Indonesia tersebut memiliki kesamaan dengan konsep addiction yang digunakan di dalam bidang psikiatri yang lebih dikenal sebagai Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atau DSMIV (American Psychiatric Association, 1995) dan sama pula dengan difinisi Chaplin (1975). Pada prinsipnya, addiction berkaitan dengan ketergantungan seseorang terhadap substance atau zat yang merugikan tubuh (substance abuse). Sebagai sebuah istilah, kata ‘ketergantungan’ lebih sering digunakan di dalam percakapan seharihari dibandingkan dengan kata ‘kecanduan’. Ketergantungan, atau di dalam bahasa Inggris bersinonim dengan kata ‘dependence’, dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan kondisi seseorang yang mengalami dependensi terhadap zatzat adiktif.
Davis (2001a) pun memaknai kecanduan (addiction) sebagai bentuk ketergantungan secara psikologis antara seseorang dengan suatu stimulus, yang biasanya tidak selalu berupa suatu benda atau zat. Di dalam DSMIV tidak digunakan kata atau istilah addiction untuk menggambarkan penggunaan secara patologis atau berlebihan pada suatu stimulus. DSMIV menggunakan istilah dependence untuk kecanduan pada suatu stimulus secara pathological, misalnya ketergantungan untuk berjudi. Selain masalah definisi konseptual yang masih kontroversial, kecanduan internet sebagai tema kajian baru juga masih membuka peluang besar untuk memunculkan perdebatan mengenai elaborasi konseptualnya. Masalah konseptual yang pertama adalah pengklasifikasian aktivitas yang membuat orang kecanduan. Hal ini dihubungkan dengan bervariasinya fasilitas yang ditawarkan oleh internet.
Young membagi kecanduan internet ke dalam lima kategori, yaitu:
a.       Cybersexual addiction, yaitu seseorang yang melakukan penelusuran dalam situssitus porno atau cybersex secara kompulsif
b.      Cyberrelationship addiction, yaitu seseorang yang hanyut dalam pertemanan melalui dunia cyber.
c.       Net compulsion, yaitu seseorang yang terobsesi pada situssitus perdagangan (cyber shopping atau day
              trading) atau perjudian (cyber casino).
d.      Information overload, yaitu seseorang yang menelusuri situssitus informasi secara kompulsif.
e.       Computer addiction, yaitu seseorang yang terobsesi pada permainanpermainan online (online games) seperti misalnya Doom, Myst, Counter Strike, Ragnarok dan lain sebagainya.
Seseorang, untuk disebut kecanduan pada internet, haruslah menunjukkan perilakuperilaku tertentu. Dalam salah satu tulisannya, Young (1996 dan 1999) menyebutkan beberapa kriterium berdasar pada kriteriumkriterium kecanduan berjudi (pathological gambling), yang digunakan untuk membedakan antara orang yang kecanduan pada internet dan yang tidak sampai kecanduan. Kriteria tersebut adalah :
a.       Merasa keasyikan dengan internet.
b.      Perlu waktu tambahan dalam mencapai kepuasan sewaktu menggunakan internet.
c.       Tidak mampu mengontrol, mengurangi, atau menghentikan penggunaan internet.
d.      Merasa gelisah, murung, depresi, atau lekas marah ketika berusaha mengurangi atau menghentikan penggunaan internet.
e.       Mengakses internet lebih lama dari yang diharapkan.
f.       Kehilangan orangorang terdekat, pekerjaan, kesempatan pendidikan, atau karier garagara penggunaan internet.
g.       Membohongi keluarga, terapis, atau orangorang terdekat untuk menyembunyikan keterlibatan lebih jauh dengan intemet.
h.      Menggunakan internet sebagai jalan keluar mengatasi masalah atau menghilangkan perasaan seperti keadaan tidak berdaya, rasa bersalah, kegelisahan, atau depresi.


Analisisi Data
Data penelitian dikumpulkan sebanyak 137 responden berhasil diperoleh melalui dua cara, yaitu dengan cara online dan offline. Adapun teknik analisis utama yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis faktor konfirmatori dengan menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM). Piranti lunak yang digunakan untuk analisis data adalah AMOS 4.01 (Student Version).
Penelitian ini akan mengkajikecocokan model dari Konstruk Kecanduan Internet sebagaimana dipaparkan dengan menggunakan prosedur Maximum Likelihood Estimation (estimasi kecocokan maksimum). Dalam rangka mengevaluasi kecocokan model tersebut (goodness of fit) digunakan beberapa kriteria. Kriterium pertama adalah Chi square (c2) dengan nilai p > 0,05 yang menunjukkan tidak adanya diskrepansi antara model dengan data empirik. Kriteria tambahan juga akan digunakan karena Chi square ini dikenal sebagai kriterium yang sangat terpengaruh oleh besarnya sampel. Kriteria tambahan antara lain adalah Goodness of Fit Index (GFI), Adjusted Goodness of Fit (AGFI), Normed Fit Index (NFI), dan Comparative Fit Index (CFI). Jika angka yang diperoleh untuk indeks tersebut lebih besar dari 0,9 maka dapat dikatakan bahwa model yang diuji tidak memiliki deskrepansi dengan data empiriknya.
Di samping itu ada beberapa ukuran (indeks) yang dapat digunakan untuk meyakinkan ada atau tidak adanya diskrepansi antara model dengan data, adapun indeks tersebut adalah Root Meansquare Residuals (RMR) dan Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA). Kedua indeks ini harus lebih kecil dari 0,05 agar dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan bahwa model ternyata cocok (fit) dengan datanya. Analisis faktor konfirmatori dilakukan terhadap 7 aitem. Ketujuh aitem tersebut digunakan untuk menyusun 2 faktor atau variabel laten. Faktor 1 tersusun atas lima buah aitem, yaitu aitem 3, 6, 7, 10, dan 11. Faktor 2 memiliki 2 aitem, yaitu aitem 9 dan 15.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa Chisquare untuk model ini adalah 14,036 dengan derajat kebebasan sebesar 13 dan p sebesar 0,371 (p > 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat diskrepansi antara model dengan data empirik. Tidak adanya diskrepansi diperkuat dengan beberapa indeks, antara lain GFI, AGFI, NFI, dan CFI. Untuk model sebagaimana dipaparkan di dalam Gambar 1 diperoleh GFI sebesar 0,968, AGFI sebesar 0,931, NFI sebesar 0,935, dan CFI sebesar 0,995. Di samping itu, 2 indikator kesesuaian antara model dengan data ditunjukkan pula oleh kecilnya angka RMR (0,042) dan RMSEA (0,025) yang keduanya lebih kecil
dari 0,05.
Dengan demikian, berdasarkan beberapa indikator kesesuaian model atau model fitness mengarah kepada suatu kesimpulan, yaitu tidak ada diskrepansi antara model dengan data. Dapat pula disimpulkan bahwa terdapat kesesuaian atau kecocokan antara model dengan data. Meskipun model ini menunjukkan bukti yang sangat meyakinkan mengenai kecocokan model dengan data, namun ternyata model ini terkena masalah yang sering disebut sebagai Heywood case. Ternyata varians untuk variabel e15 atau error variance untuk aitem 15 ternyata negatif, yaitu sebesar 0,00791. Dengan demikian model ini dianggap tidak dapat diterima (not admissible). Menurut Garson (2000), Heywood case memiliki setidaknya 5 penyebab.
Pertama, terjadi kesalahan di dalam melakukan spesifikasi model. Kedua, adanya outliers di dalam datanya. Outliers ini ditunjukkan dengan besarnya angka Mahalonobis distance yang di dalam AMOS diperoleh melalui prosedur test for normality and outliers. Ketiga, adalah masalah yang timbul sebagai akibat adanya dua kejadian sekaligus yaitu dari ukuran sampel yang relatif kecil (N < 100 atau N < 150) dikombinasi dengan adanya satu variabel laten yang tersusun berdasarkan dua variabel terobservasi. Keempat, korelasi dari populasi mendekati 1 atau mendekati 0 sehingga secara empirik mengakibatkan adanya underidentification. Kelima, adalah buruknya nilai awal di dalam melakukan estimasi dengan menggunakan Maximum Likelihood. Di dalam penelitian ini ternyata yang paling mungkin menjadi penyebab terjadinya Heywood case adalah penyebab ketiga, yaitu ukuran sampel yang kecil (N < 150) yang dikominasikan dengan adanya satu faktor (Faktor 2) yang memiliki 2 variabel terobservasi.
Modifikasi dilakukan dengan cara mengubah model awal menjadi dua
model baru. Model modifikasi 1 adalah model yang memiliki satu variabel laten dengan 6 variabel terobservasi, yaitu variabel X03, X06, X07, X10, X11, dan X09. Model modifikasi 2 memiliki diagram yang sama dengan model modifikasi 1, namun berbeda dalam hal variabel terobservasi yang terakhir. Di dalam model modifikasi 2 ini digunakan variabel X15 sebagai ganti dari variabel X09. Hasil analisis menunjukkan bukti bahwa kedua model modifikasi tersebut dapat dianggap fit dengan data empiriknya.
Artinya model tersebut memperoleh dukungan empirik. Meskipun begitu ternyata terdapat perbedaan yang relatif besar terutama dalam hal standardized regression weight dan squared multiple correlation. Jika kita bandingkan antara Model
Modifikasi 1 dan Model Modifikasi 2 yang dalam hal ini adalah standardized regression weight untuk variabel X03, X06, X07, X10, dan X11, maka dapat disimpulkan bahwa untuk variabelvariabel tersebut tidak terlihat adanya perbedaan yang mencolok di antara keduanya.


Kesimpulan
Penelitian ini, sampai taraf tertentu, mampu menyumbangkan bukti mengenai kriteria penting kecanduan internet. Berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh Young (1996 dan 1999), diperoleh delapan kriteria kecanduan internet. Menurut Beard dan Wolf (2001), setidaknya ada enam kriteria yang harus dimiliki agar seseorang dapat diklasifikasikan sebagai pecandu internet.
Kriteria kecanduan internet yang dapat diuji di dalam penelitian ini adalah (1) pikiran yang terpreokupasi internet; (2) waktu penggunakan internet semakin lama semakin bertambah demi pemenuhan kepuasan diri; (3) pernah mencoba namun gagal untuk mengendalikan, mengurangi, atau berhenti menggunakan internet; (4) tidak tenang, moody, depresif, dan mudah teriritasi; (5) aktivitas online melebihi waktu yang direncanakan; dan (6) mengalami masalah atau mempunyai risiko kehilangan hubungan pribadi, kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan pendidikan, dan kehilangan karir.
Terdapat dua kriteria lain yang tidak dapat disertakan di dalam analisis karena tidak tersedianya aitem
yang sesuai dengan dua kriteria tersebut. Adapun dua kriteria tersebut adalah (1) berbohong kepada anggota keluarganya atau pihak lain dalam rangka menutupi aktivitas berinternetnya dan (2) menggunakan internet sebagai jalan keluar mengatasi masalah atau menghilangkan perasaan seperti keadaan tidak berdaya, rasa bersalah, kegelisahan, atau depresi.
Dengan menggunakan aitem yang memiliki path coefficients antara 0,54 hingga 0,71, tampaknya menjadikan Model Modifikasi 2 pilihan yang lebih baik. Jumlah variabel manifes atau aitem untuk konstruk kecanduan internet ini relatif sedikit.


Sumber
Jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view/7072/5524

Komentar

Postingan Populer